I.
Takdir, juga yang
mempertemukan kita, menghubungkan getaran-getaran yang pada awalnya tak
terdeskripsikan, getaran yang seolah berkata “aku butuh kamu”. Hingga kita
merumuskan rasa itu menjadi sebuah kebutuhan. Rasa butuh yang biasa orang sebut
“sayang”.
II.
Bagaimana mungkin
pria dan wanita, yang konon berasal dari planet yang berjauhan, yaitu dari Mars
dan Venus, bisa saling merindukan padahal sama-sama sedang berada di bumi? Ah,
pertanyaan klise itu memuakkan, memekakkan telinga. Namun apa yang lebih lumrah
dari kalimat “aku rindu kamu”? Rindu yang tak berbalas. Setidaknya begitu
bagiku.
Rindu yang tak berbalas membuatku terlihat gila, atau aku memang
benar-benar sudah gila. Bahkan ketika seseorang yang memang dikenal lucu melucu
di depan banyak orang, membuat orang-orang terbahak-bahak, tetapi tetap saja
wajah dan tatapanku seperti hasil persilangan antara layar televisi, kulkas,
dan dompetku. Datar, dingin, dan kosong.
Rindu yang tak berbalas
itu seperti lubang hitam. Menyedot habis semua senyum, tawa, dan canda yang aku
punya. Kita duduk berdekatan, tapi kita sendiri-sendiri. Sayang, surat ini tak
perlu dibalas. Tetapi balaslah rinduku, maka aku akan tetap waras.
III.
Sadarkah kamu
pengaruhmu begitu besar buatku? Ketika aku kecewa, sedih, bahkan marah, satu
simpul senyummu bisa mengembangkan senyumku yang terkubur dalam tanah hati yang
gelap
IV.
Karena orang yang
jatuh cinta diam-diam, cintanya juga bisa berbalas. Balasan berupa penerimaan
diam-diam, penolakan diam-diam, atau mungkin diabaikan diam-diam.
0 comments:
Post a Comment